Jumat, 30 Oktober 2015

Love My Hater : Part 9 - Aku (tak) Ingin Putus

Friedrich dan Julia yang melihat kaus itu bersamaan saling bertatapan dan mendadak ekspresi mereka menjadi ketakutan. Apakah Claudia sudah tahu bahwa mereka telah diam-diam berhubungan?

"Kenapa? Lo berdua gak suka?" tanya Claudia.
"Enggak! Enggak! Kita suka kok. Makasih ya!" Respon Julia.
"Iya." Friedrich mengikuti.
"Gue sengaja nyari yang warnanya putih biar kalau lagi terik kalian gak kepanasan." Balas Claudia.
"Eh, keretanya udah mau sampai. Siap-siap ayo!" Julia menyuruh kedua temannya untuk bergegas karena kereta yang akan membawa mereka ke Jakarta akan segera berangkat. Ketiganya mengambil barang-barang mereka dan memasuki kereta. Mereka duduk sesuai dengan nomor kursi yang ada di tiket mereka masing-masing. Mereka berangkat agak menjelang malam, pukul 17.15.

"Seru juga ya liburan kita kali ini. Kapan-kapan kita liburan ke sini lagi!" Seru Julia.
"Enggak!" Claudia tiba-tiba berteriak agak keras. Teriakannya mengundang perhatian penumpang sekitar.
"Kenapa Claudia?" tanya Friedrich.
"Oh...enggak! Maksudku. Enggak bakal nolak kalau pergi liburan ke sini lagi." Claudia menjelaskan.
"Kira-kira jam berapa kita sampai Jakarta?" tanya Julia.
"Kira-kira pukul 5 pagi besok! Pada bawa selimut, 'kan? Kalau gak, aku peluk aja biar hangat!" seru Friedrich iseng.
"Ih, itu sih maunya kamu!" Claudia menyanggah.
"Tenang aja! Gue selalu bawa selimut. Gue gak bisa tidur kalau gak ada selimut." Seru Julia.
"Tumben ngomongnya pake gue-lo. Biasanya aku-kamu." Tanya Claudia.
"Eh iya! Kelepasan!" Seru Julia sambil menutupi mulutnya dengan tangan kirinya.
"Santai aja keules! Udah biasa itu. Ngomong sama teman gak harus formal amat." Claudia menyanggah.
"Iya juga sih!" Balas Julia.
"Ya udah, mulai sekarang kita ngomongnya pake gue-lo aja. Sebelum tidur, gimana kalau kita saling sharing cerita seram?" Friedrich menawarkan.
"Boleh tuh!" Jawab Julia.
"Jangan ah! Nanti mimpi buruk!" Claudia menolak.
"Parno banget sih jadi orang! Tenang aja, dengerin cerita seram gak bakal bikin kamu didatengin hantu!" Sanggah Julia.
"Ya udah." Claudia menyerah.
"Ini pernah kejadian di rumah gue 3 tahun lalu. Gue lagi nonton Jerman lawan Italia. Pas turun minum, gue pergi ambil minuman di kulkas. Gue lihat nyokap gue turun dari tangga." Ungkap Friedrich.
"Yah, di mana seremnya?" protes Julia.
"Eh, tunggu dulu. Belum selesai ceritanya. Pas gue balik ke ruang tamu lagi, nyokap nelpon ke hape gue. Dia bilang, 'Friedrich, ibu lagi di Bandung. Kamu mau nitip beli apa gak?'. Gue baru sadar. Nyokap gue 'kan lagi di Bandung." Lanjut Friedrich. Claudia menjadi sedikit ketakutan.
"Halah, gak serem itu! Cerita gue lebih serem lagi!" Kata Julia dengan penuh percaya diri.
"Masa? Coba diceritain?" tantang Friedrich.
"Ini baru kejadian dua minggu lalu. Kira-kira hampir jam 11 malam, gue pulang sendirian ke kosan gue. Gue lewat jalan sepi banget. Pas gue jalan, di belakang gue ada suara berisik gitu. Gue liat ke belakang, gak ada siapa-siapa. Gue coba untuk tenang dan gak ketakutan sama sekali. Gue jalan terus sampai ke ujung jalan. Pas di ujung jalan, tiba-tiba ada makhluk tinggi banget. Tingginya kira-kira 2,5 meter. Badannya tegap, banyak bulunya. Dia melotot ke arah gue. Gue refleks ambil langkah seribu. Gue lari gak tentu arah sampai gue ajaibnya sampai ke kosan gue. Gue langsung masuk dan kunci pintu kamar." Papar Julia.
"Pantesan lo waktu itu pulang ngos-ngosan." Claudia mengingat kejadian dua minggu sebelumnya.
"Nah, sekarang giliran lo!" Ucap Julia sambil menunjuk Claudia.
"Eh?! Gue?" Claudia agak sedikit terkejut.
"Ya iyalah!" Balas Julia.
"Jadi dulu waktu gue masih 7 tahun, gue pernah lihat penampakan di sekolah gue. Pas istirahat, gue iseng jalan-jalan ke gudang sekolah. Pas gue mau masuk, tiba-tiba di depan pintu ada makhluk tinggi besar. Gue kaget, gue langsung cabut secepat mungkin. Untung aja siang-siang. Coba kalau malam-malam kejadiannya.” Papar Claudia.
“Kok, lo gak pernah cerita ke gue sih?” tanya Julia.
“Gimana mau cerita. Sebenarnya, gue males banget buat ngingetnya! Tapi kejadian itu gak ada apa-apanya dibanding kejadian horor yang gue lihat sendiri beberapa hari lalu.” Claudia tiba-tiba berbicara sesuatu yang kurang jelas.
“Maksud lo?” tanya Friedrich kebingungan.
“Eh, enggak! Bukan apa-apa kok!” Claudia tersadar akan ucapannya barusan.
“Ah, udah malam! Tidur aja, biar besok pagi gak ngantuk pas sampai Jakarta.” Ucap Friedrich.
“Lo berdua tidur aja dulu. Gue masih pingin main hape sama makan snack dulu. Oh ya, Claudia, lusa kita ada jadwal latihan band kayak biasa. Jangan lupa ya!” Julia mengingatkan.
“Iya!” Balas Claudia singkat sambil menarik selimutnya.
“Ya udah, selamat malam!” Ujar Friedrich lalu mulai tidur. Julia belum tidur dan melanjutkan aktivitas chat di gadget miliknya.

Tiga minggu kemudian.

“Friedrich, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Claudia tiba-tiba mendekati Friedrich yang sedang berlatih basket.
“Apa, sayang?” Friedrich berhenti melempar bola basket ke keranjang dan meletakkan bola basket ke lantai.
“Kalau suatu saat kita putus, apa yang akan kamu lakukan? Kamu akan membiarkanku pergi atau kamu akan berusaha agar aku kembali kepadamu?” tanya Claudia. Friedrich menjadi sedikit terkejut dan terdiam sejenak.
“Kenapa kamu tak menjawab pertanyaanku. Ayo jawab!” Claudia menjadi tidak sabar.
“Aku akan berusaha agar kau bisa kembali lagi padaku karena aku yakin kau tercipta hanya untukku.” Jawab Friedrich dengan mantap.
“Oh, begitu? Ayo kita buktikan!’ Ucap Claudia.
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti?” Friedrich kebingungan.
“Kita buktikan dengan ini.” Kata Claudia sambil menunjukkan foto Friedrich dan Julia sedang berciuman di hapenya.
“Tunggu, Claudia! Kenyataannya tidak seperti yang terlihat!” Friedrich berusaha menguasai keadaan.
“Kita putus!” Claudia mengucap dua kata yang dalam sekejap mengakhiri empat tahun kebersamaan mereka. Ia pergi meninggalkan Friedrich. Ia memang berkata putus, tetapi hatinya berkata lain.
“Ayo, Friedrich! Kejar aku! Kau baru saja bilang kau akan berusaha agar aku kembali kepadamu karena kau yakin aku tercipta hanya untukmu! Kalau memang benar, kejar aku! Yakinkan aku untuk membatalkan keputusanku ini! Sebelum aku yakin keputusanku ini tepat.” Di dalam hatinya, ia masih berharap. Friedrich masih belum menyusulnya.
“Mungkin keputusanku ini...”
“Tunggu, Claudia!” Friedrich tiba-tiba mendekati Claudia. Claudia membalik tubuhnya.
“Claudia, aku tidak mau kita putus! Aku tahu kamu pasti sangat sakit mengetahui aku berhubungan dengan Julia. Tetapi, ada alasan mengapa aku harus berhubungan dengannya. Aku tidak pernah mencintainya. Aku hanya berpura-pura. Kau pikirkanlah. Dari dulu, Julia tidak pernah suka denganku. Lantas, bagaimana caranya tiba-tiba kami bisa jatuh cinta?” Friedrich berusaha meyakinkan Claudia.
“Maksudmu?” tanya Claudia.
“Julia punya rencana untuk menghancurkan hubungan kita. Dia sengaja mendekatiku agar aku terbuai dan kita putus. Dia tidak benar-benar rela kita menjalin hubungan. Dia hanya pura-pura. Aku sudah melihatnya sejak waktu itu.” Friedrich menjelaskan.
“Apa buktinya? Jangan memfitnah sahabatku!” Claudia tidak percaya.
“Aku menyadari rencananya saat kita berada dalam kereta. Ia lupa membawa hapenya saat ia pergi ke kamar kecil dan aku lihat ada chat baru masuk. Saat aku diam-diam membukanya, aku terkejut melihat percakapannya dengan pacarnya...”
“Tunggu, bukannya Julia gak pernah pacaran?” Claudia menyela.
“Julia itu sudah pernah pacaran 12 kali. Waktu SMA kelas 2 saja, aku pernah diam-diam melihatnya jalan dengan kakak kelas kita. Intinya, dia berencana merusak hubungan kita karena ia tidak pernah rela kita bersatu. Kalau kamu gak percaya, aku sempat mengambil screenshot kontak chat hapenya saat aku punya kesempatan dan kukirim ke hapeku. Ini.” Kata Friedrich sembari memberikan screenshot di hapenya kepada Claudia. Claudia tidak percaya jika sahabatnya berniat merusak hubungannya.
“Sekarang kamu percaya padaku, ‘kan?” tanya Friedrich.
“Iya, Friedrich! Aku percaya sekarang! Aku yakin kalau kamu gak selingkuh dengannya! Tetapi kenapa kamu gak bilang padaku sejak awal?” tanya Claudia.
“Karena aku yakin kalau aku mengatakannya, kamu pasti gak akan percaya. Saat aku punya bukti yang kuat, baru aku bisa memberitahumu dan sekaranglah waktunya. Maka dari itulah, aku mengikuti permainannya dan berhubungan dengannya agar bisa mengumpulkan bukti. Tapi, kamu keburu tahu dan mengira aku benar-benar cinta dengannya.” Jawab  Friedrich. Claudia mulai menangis dan memeluk Friedrich.
“Friedrich, jangan pernah tinggalkan dan sakiti aku. Aku tak bisa hidup tanpamu! Maaf karena aku sempat salah menyangkamu benar-benar berhubungan dengannya!” Claudia semakin menangis.
“Tidak apa-apa, sayang! Anggap saja ini sebagai ujian yang memperkokoh ikatan cinta kita!” Mereka berdua pun berpelukan. Tiba-tiba, terdengar suara seseorang dari balik semak-semak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bus Terakhir

Kakiku melangkah agak sedikit sempoyongan. Arlojiku menunjukkan waktu pukul 22.15. Huh! Sudah cukup larut malam. Pasti Claudie akan marah-m...