Friedrich dan Julia yang melihat kaus itu bersamaan
saling bertatapan dan mendadak ekspresi mereka menjadi ketakutan. Apakah
Claudia sudah tahu bahwa mereka telah diam-diam berhubungan?
"Kenapa? Lo berdua gak suka?" tanya Claudia.
"Enggak! Enggak! Kita suka kok. Makasih ya!"
Respon Julia.
"Iya." Friedrich mengikuti.
"Gue sengaja nyari yang warnanya putih biar kalau
lagi terik kalian gak kepanasan." Balas Claudia.
"Eh, keretanya udah mau sampai. Siap-siap
ayo!" Julia menyuruh kedua temannya untuk bergegas karena kereta yang akan
membawa mereka ke Jakarta akan segera berangkat. Ketiganya mengambil
barang-barang mereka dan memasuki kereta. Mereka duduk sesuai dengan nomor
kursi yang ada di tiket mereka masing-masing. Mereka berangkat agak menjelang
malam, pukul 17.15.
"Seru juga ya liburan kita kali ini. Kapan-kapan
kita liburan ke sini lagi!" Seru Julia.
"Enggak!" Claudia tiba-tiba berteriak agak
keras. Teriakannya mengundang perhatian penumpang sekitar.
"Kenapa Claudia?" tanya Friedrich.
"Oh...enggak! Maksudku. Enggak bakal nolak kalau
pergi liburan ke sini lagi." Claudia menjelaskan.
"Kira-kira jam berapa kita sampai Jakarta?"
tanya Julia.
"Kira-kira pukul 5 pagi besok! Pada bawa selimut,
'kan? Kalau gak, aku peluk aja biar hangat!" seru Friedrich iseng.
"Ih, itu sih maunya kamu!" Claudia
menyanggah.
"Tenang aja! Gue selalu bawa selimut. Gue gak bisa
tidur kalau gak ada selimut." Seru Julia.
"Tumben ngomongnya pake gue-lo. Biasanya
aku-kamu." Tanya Claudia.
"Eh iya! Kelepasan!" Seru Julia sambil
menutupi mulutnya dengan tangan kirinya.
"Santai aja keules! Udah biasa itu. Ngomong sama
teman gak harus formal amat." Claudia menyanggah.
"Iya juga sih!" Balas Julia.
"Ya udah, mulai sekarang kita ngomongnya pake
gue-lo aja. Sebelum tidur, gimana kalau kita saling sharing cerita seram?" Friedrich menawarkan.
"Boleh tuh!" Jawab Julia.
"Jangan ah! Nanti mimpi buruk!" Claudia
menolak.
"Parno banget sih jadi orang! Tenang aja, dengerin
cerita seram gak bakal bikin kamu didatengin hantu!" Sanggah Julia.
"Ya udah." Claudia menyerah.
"Ini pernah kejadian di rumah gue 3 tahun lalu.
Gue lagi nonton Jerman lawan Italia. Pas turun minum, gue pergi ambil minuman
di kulkas. Gue lihat nyokap gue turun dari tangga." Ungkap Friedrich.
"Yah, di mana seremnya?" protes Julia.
"Eh, tunggu dulu. Belum selesai ceritanya. Pas gue
balik ke ruang tamu lagi, nyokap nelpon ke hape gue. Dia bilang, 'Friedrich,
ibu lagi di Bandung. Kamu mau nitip beli apa gak?'. Gue baru sadar. Nyokap gue
'kan lagi di Bandung." Lanjut Friedrich. Claudia menjadi sedikit
ketakutan.
"Halah, gak serem itu! Cerita gue lebih serem
lagi!" Kata Julia dengan penuh percaya diri.
"Masa? Coba diceritain?" tantang Friedrich.
"Ini baru kejadian dua minggu lalu. Kira-kira
hampir jam 11 malam, gue pulang sendirian ke kosan gue. Gue lewat jalan sepi
banget. Pas gue jalan, di belakang gue ada suara berisik gitu. Gue liat ke
belakang, gak ada siapa-siapa. Gue coba untuk tenang dan gak ketakutan sama
sekali. Gue jalan terus sampai ke ujung jalan. Pas di ujung jalan, tiba-tiba
ada makhluk tinggi banget. Tingginya kira-kira 2,5 meter. Badannya tegap,
banyak bulunya. Dia melotot ke arah gue. Gue refleks ambil langkah seribu. Gue
lari gak tentu arah sampai gue ajaibnya sampai ke kosan gue. Gue langsung masuk
dan kunci pintu kamar." Papar Julia.
"Pantesan lo waktu itu pulang ngos-ngosan."
Claudia mengingat kejadian dua minggu sebelumnya.
"Nah, sekarang giliran lo!" Ucap Julia sambil
menunjuk Claudia.
"Eh?! Gue?" Claudia agak sedikit terkejut.
"Ya iyalah!" Balas Julia.
"Jadi dulu waktu gue masih 7 tahun, gue pernah
lihat penampakan di sekolah gue. Pas istirahat, gue iseng jalan-jalan ke gudang
sekolah. Pas gue mau masuk, tiba-tiba di depan pintu ada makhluk tinggi besar.
Gue kaget, gue langsung cabut secepat mungkin. Untung aja siang-siang. Coba
kalau malam-malam kejadiannya.” Papar Claudia.
“Kok, lo gak pernah cerita ke gue sih?” tanya Julia.
“Gimana mau cerita. Sebenarnya, gue males banget buat
ngingetnya! Tapi kejadian itu gak ada apa-apanya dibanding kejadian horor yang
gue lihat sendiri beberapa hari lalu.” Claudia tiba-tiba berbicara sesuatu yang
kurang jelas.
“Maksud lo?” tanya Friedrich kebingungan.
“Eh, enggak! Bukan apa-apa kok!” Claudia tersadar akan
ucapannya barusan.
“Ah, udah malam! Tidur aja, biar besok pagi gak ngantuk
pas sampai Jakarta.” Ucap Friedrich.
“Lo berdua tidur aja dulu. Gue masih pingin main hape
sama makan snack dulu. Oh ya,
Claudia, lusa kita ada jadwal latihan band kayak biasa. Jangan lupa ya!” Julia
mengingatkan.
“Iya!” Balas Claudia singkat sambil menarik selimutnya.
“Ya udah, selamat malam!” Ujar Friedrich lalu mulai
tidur. Julia belum tidur dan melanjutkan aktivitas chat di gadget miliknya.
Tiga minggu kemudian.
“Friedrich, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”
Claudia tiba-tiba mendekati Friedrich yang sedang berlatih basket.
“Apa, sayang?” Friedrich berhenti melempar bola basket
ke keranjang dan meletakkan bola basket ke lantai.
“Kalau suatu saat kita putus, apa yang akan kamu
lakukan? Kamu akan membiarkanku pergi atau kamu akan berusaha agar aku kembali
kepadamu?” tanya Claudia. Friedrich menjadi sedikit terkejut dan terdiam
sejenak.
“Kenapa kamu tak menjawab pertanyaanku. Ayo jawab!”
Claudia menjadi tidak sabar.
“Aku akan berusaha agar kau bisa kembali lagi padaku
karena aku yakin kau tercipta hanya untukku.” Jawab Friedrich dengan mantap.
“Oh, begitu? Ayo kita buktikan!’ Ucap Claudia.
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti?” Friedrich
kebingungan.
“Kita buktikan dengan ini.” Kata Claudia sambil
menunjukkan foto Friedrich dan Julia sedang berciuman di hapenya.
“Tunggu, Claudia! Kenyataannya tidak seperti yang
terlihat!” Friedrich berusaha menguasai keadaan.
“Kita putus!” Claudia mengucap dua kata yang dalam
sekejap mengakhiri empat tahun kebersamaan mereka. Ia pergi meninggalkan Friedrich.
Ia memang berkata putus, tetapi hatinya berkata lain.
“Ayo, Friedrich! Kejar aku! Kau baru saja bilang kau
akan berusaha agar aku kembali kepadamu karena kau yakin aku tercipta hanya
untukmu! Kalau memang benar, kejar aku! Yakinkan aku untuk membatalkan
keputusanku ini! Sebelum aku yakin keputusanku ini tepat.” Di dalam hatinya, ia
masih berharap. Friedrich masih belum menyusulnya.
“Mungkin keputusanku ini...”
“Tunggu, Claudia!” Friedrich tiba-tiba mendekati
Claudia. Claudia membalik tubuhnya.
“Claudia, aku tidak mau kita putus! Aku tahu kamu pasti
sangat sakit mengetahui aku berhubungan dengan Julia. Tetapi, ada alasan
mengapa aku harus berhubungan dengannya. Aku tidak pernah mencintainya. Aku
hanya berpura-pura. Kau pikirkanlah. Dari dulu, Julia tidak pernah suka
denganku. Lantas, bagaimana caranya tiba-tiba kami bisa jatuh cinta?” Friedrich
berusaha meyakinkan Claudia.
“Maksudmu?” tanya Claudia.
“Julia punya rencana untuk menghancurkan hubungan kita.
Dia sengaja mendekatiku agar aku terbuai dan kita putus. Dia tidak benar-benar
rela kita menjalin hubungan. Dia hanya pura-pura. Aku sudah melihatnya sejak
waktu itu.” Friedrich menjelaskan.
“Apa buktinya? Jangan memfitnah sahabatku!” Claudia
tidak percaya.
“Aku menyadari rencananya saat kita berada dalam
kereta. Ia lupa membawa hapenya saat ia pergi ke kamar kecil dan aku lihat ada chat baru masuk. Saat aku diam-diam
membukanya, aku terkejut melihat percakapannya dengan pacarnya...”
“Tunggu, bukannya Julia gak pernah pacaran?” Claudia
menyela.
“Julia itu sudah pernah pacaran 12 kali. Waktu SMA
kelas 2 saja, aku pernah diam-diam melihatnya jalan dengan kakak kelas kita.
Intinya, dia berencana merusak hubungan kita karena ia tidak pernah rela kita
bersatu. Kalau kamu gak percaya, aku sempat mengambil screenshot kontak chat
hapenya saat aku punya kesempatan dan kukirim ke hapeku. Ini.” Kata Friedrich
sembari memberikan screenshot di
hapenya kepada Claudia. Claudia tidak percaya jika sahabatnya berniat merusak
hubungannya.
“Sekarang kamu percaya padaku, ‘kan?” tanya Friedrich.
“Iya, Friedrich! Aku percaya sekarang! Aku yakin kalau
kamu gak selingkuh dengannya! Tetapi kenapa kamu gak bilang padaku sejak awal?”
tanya Claudia.
“Karena aku yakin kalau aku mengatakannya, kamu pasti
gak akan percaya. Saat aku punya bukti yang kuat, baru aku bisa memberitahumu
dan sekaranglah waktunya. Maka dari itulah, aku mengikuti permainannya dan
berhubungan dengannya agar bisa mengumpulkan bukti. Tapi, kamu keburu tahu dan
mengira aku benar-benar cinta dengannya.” Jawab
Friedrich. Claudia mulai menangis dan memeluk Friedrich.
“Friedrich, jangan pernah tinggalkan dan sakiti aku.
Aku tak bisa hidup tanpamu! Maaf karena aku sempat salah menyangkamu
benar-benar berhubungan dengannya!” Claudia semakin menangis.
“Tidak
apa-apa, sayang! Anggap saja ini sebagai ujian yang memperkokoh ikatan cinta
kita!” Mereka berdua pun berpelukan. Tiba-tiba, terdengar suara seseorang dari
balik semak-semak.