“Aku ingin minta maaf pada...” Claudia melanjutkan.
Julia dan Friedrich menanti jawabannya dengan harap-harap cemas.
“Julia.” Begitu namanya disebut oleh Claudia, Julia
langsung terpukul.
“Maaf, Julia! Aku tak bisa meninggalkan Friedrich. Kami
sudah saling mencintai dan tak terpisahkan. Dengan penuh pertimbangan, aku
memilih Friedrich.” Claudia menyelesaikan pilihannya. Julia sangat kecewa karena
Claudia mengakhiri 14 tahun persahabatan mereka demi seorang lelaki yang baru
dikenalnya sejak SMP.
“Baiklah, Claudia. Gue hormati keputusanmu tapi
ingatlah. Lo bakal menyesali pilihan lo ini. Mulai sekarang, jangan pernah
kontak atau nyapa gue lagi. Persahabatan kita putus sampai lo mengubah
keputusan lo!" Ujar Julia sambil menjatuhkan rokok yang masih menyala ke
lantai semen dan menginjaknya dengan sepatu kanannya. Ia berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun
lagi.
"Julia!" Claudia memanggil namun Julia tak
meggubrisnya.
"Sudahlah, sayang! Julia hanya sedang dalam emosi
buruk saja! Kalau hatinya sudah tenang dan pikirannya sudah jernih, ia akan
kembali seperti biasa." Friedrich berusaha menenangkan Claudia yang mulai
menitikkan air mata dan menyandarkan kepalanya ke dada Friedrich.
"Sayang, apa keputusanku ini benar?" Claudia
mulai meragukan keputusan yang baru saja ia buat.
"Aku gak bisa bilang keputusanmu benar atau
enggak. Tapi yang jelas, kita jangan mendekati Julia dulu. Dia sekarang gak
ingin melihat apalagi berbicara dengan kita. Kita biarkan dulu dia
tenang." Friedrich menguatkan Claudia.
Keesokan harinya, Claudia dan Friedrich pergi ke
kampus, seperti biasa. Ketika mereka masuk ke dalam kelas, mereka tidak melihat
Julia. Mereka khawatir bila terjadi sesuatu yang buruk terhadap Julia.
"Julia ke mana ya? Apa perasaannya masih terluka
dengan kejadian kemarin dan ia pergi ke suatu tempat." Claudia
bertanya-tanya.
"Entahlah." Friedrich tidak tahu.
"Julia baik-baik saja kok." Tiba-tiba Sofie
menyela pembicaraan mereka.
"Maksud kamu?!" Tanya Claudia kebingungan.
"Julia hanya sedang terpukul mentalnya saja dan
butuh ketenangan. Jadi, ia selama seminggu ke depan akan cuti kuliah. Tapi, aku
gak tahu apa yang buat dia terpukul." Terang Sofie.
Claudia mulai diliputi perasaan bersalah. Ia takut
Julia yang kecewa dengan keputusan yang ia buat kemarin akan melakukan sesuatu
yang berbahaya.
Sementara itu, sambil duduk di lantai kamar kos dan
menghisap rokok, Julia sedang memikirkan sesuatu. Terbayang saat ibunya
memperkenalkan pacar barunya, 9 tahun lalu.
“Julia, Dieser
Mann ist mein Freund, Joseph. Wir werden heiraten. Joseph, Sie ist meine
Tochter, Julia.”[1] kata
ibu dalam bahasa Jerman.
"Julia,
bleib bei uns!"[2] Pria
itu mengajak Julia.
Nein!
Ich will das nicht! Mutter, bitte nicht!"[3]
Julia memohon.
"Es tut mir
leid, Julia! Ich konnte nicht mehr mit Ihrem Vater zu sein."[4] Ibu
berkata demikian dan ia pergi keluar dari rumah bersama sang pacar baru.
Hati Julia terasa sangat sakit dan air matanya selalu
menetes tiap membayangkan peristiwa itu. Ia tak habis pikir bagaimana ibunya
tega meninggalkan ia, kakaknya, dan ayahnya dan pergi bersama pria lain.
Bayangannya kemudian melangkah 7 tahun ke depan saat ia sedang dalam perjalanan
pulang dari sekolah. Ia berhasil menjadi siswa lulusan terbaik.
"Aku berhasil! Aku berhasil lulus dengan nilai
terbaik. Ayah pasti senang!" Julia melangkahkan kakinya kegirangan
membayangkan bagaimana ayahnya akan membanggakan sang putri. Sampai ada sebuah
panggilan masuk.
"Hallo, ich
bin Julia."[5] Julia
membuka percakapan. Terdengar suara tangisan dari dalam ponsel.
“Halo, kak Ingo! Ada apa, kak?! Kenapa menangis?” Julia
menjadi panik.
“Ayah meninggal, Julia!” dua kata pertama dari tiga
kata yang diucapakan sang kakak cukup membuat Julia terdiam sejenak kemudian
sekuat tenaga berlari menuju ke rumah sakit sambil menahan air matanya agar
tidak menetes dulu. Sesampainya di rumah sakit, ia langsung menuju kamar sang
ayah. Ketika ia membuka pintu, tampak Ingo, sang kakak, duduk di samping ayah yang
sudah terbaring kaku di tempat tidurnya. Julia sudah tak dapat lagi menahan air
matanya.
"Vater!
Vater! Vater!!"[6] Julia
mengguncang tubuh sang ayah namun tak ada respon apapun dari sang raga. Julia
mulai menangisi kepergian ayahnya.
Kembali ke alam nyata, air mata Julia kali ini
benar-benar tumpah. Entah sudah yang keberapa kali ingatan akan peristiwa itu
membuatnya menangis. Ia berusaha agar ingatan tersebut tak lagi menghantuinya
namun ia selalu saja datang.
"Friedrich, aku ingin tahu kenapa orang tua kamu
bercerai." Claudia tiba-tiba bertanya. Friedrich terkejut.
"Kenapa kamu tiba-tiba nanya seperti itu?"
respon Friedrich yang terkejut.
"Aku cuma ingin tahu alasan Julia membencimu dari
sudut pandangmu." Claudia menjelaskan.
"Ayahku itu seorang rentenir. Dia memberi pinjaman
dengan bunga cukup tinggi. Ibu Julia suatu hari meminjam uang kepada ayahku
untuk menutupi biaya pengobatan ayah Julia. Ayahku pada awalnya menolak karena
tahu keluarga Julia tidak akan bisa membayarnya. Namun, ia memberikan pilihan.
Jika ibu Julia mau menikah dengan ayahku, ia akan menanggung biaya
pengobatannya secara cuma-cuma. Tapi, keduanya harus berpisah dengan pasangan
masing-masing. Jadi, ayahku bercerai dari ibuku dan ibu Julia bercerai dari
ayah Julia." Friedrich menjelaskan.
"Jadi, ibu Julia menikahi ayahmu bukan karena
cinta?" Claudia mulai kebingungan.
"Iya. Sebenarnya ibu Julia hanya terpaksa menikahi
ayahku agar bisa membiayai pengobatan suaminya. Tetapi, ia tak tahu kalau ayah
Julia lebih membutuhkan kehadirannya daripada pengobatan." Friedrich
melanjutkan.
"Lantas, bagaimana kehidupan pernikahan mereka
sekarang?" Claudia kembali bertanya.
"Kehidupan mereka berantakan. Ayahku meninggal
tahun lalu karena kecelakaan lalu lintas. Ibu Julia, meski mendapat warisan
dari ayahku lumayan besar, hidupnya suram sejak ia tahu ayah Julia sudah
meninggal. Ia setiap hari hanya menyesali pilihan yang sudah dibuatnya
dulu." Friedrich menerangkan.
“Ngomong-ngomong, siapa yang memberitahumu? Kau ‘kan
baru tahu kalau ayahmu menikah lagi dengan ibunya Julia setelah Julia mengakui
semuanya.” Tanya Claudia.
“Kemarin ketika aku tahu semuanya, aku langsung
menanyakannya kepada ibuku. Ibuku ternyata menyimpan rapat-rapat soal
pernikahan kedua ayahku selama ini dariku. Aku memaksanya untuk menceritakan
dan ia akhirnya mau.” Terang Friedrich.
"Sayang, apa kamu tahu di mana ibu Julia tinggal?
Aku punya sebuah ide." Claudia tiba-tiba merencanakan sesuatu.
"Iya.
Memangnya apa idemu?" Tanya Friedrich.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar