Jumat, 25 Desember 2015

Love My Hater - Part 8 : Terbagi Dua

Claudia tidak mengetuk pintu, melainkan mengintip dari lubang kecil yang ada di pintu. Apa yang dapat dilihat  Claudia dari lubang pintu benar-benar membuatnya shock. Ia melihat Friedrich dan Julia berpelukan dan berciuman. Karena Friedrich jauh lebih tinggi dari Julia, Friedrich harus menekuk kakinya agar bisa menciumi Julia. Air mata Claudia mulai bercucuran, mengiringi hatinya yang tersayat begitu menyakitkan. Ia berusaha tidak mengeluarkan sepatah kata pun agar tak ketahuan. Ia mengendap-endap kembali ke kamarnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Sesampainya di kamar, ia menangis dengan wajah ditutupi bantal agar tak mengeluarkan suara.

Sementara itu, di kamar sebelah...

“Julia, apa kau serius ingin berhubungan denganku? Kau ‘kan tahu aku sudah 4 tahun berhubungan dengan Claudia.” tanya Friedrich sambil mengusap kepala Julia dari belakang.
“Iya. Sebenarnya sejak menjelang kelulusan SMA, benih cinta sudah mulai tumbuh di hatiku. Aku cuma menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya dan sekaranglah waktunya.” Balas Julia.
“Jadi begitu.” Jawab Friedrich, singkat.
“Oh ya, apa ini artinya kau akan meninggalkan Claudia?” tanya Julia.
“Tidak, aku gak ingin meninggalkannya. Kau sudah tahu ‘kan kalau kami akan menikah bulan depan? Aku cuma merasa kurang kalau hanya punya satu cewek. Aku ingin tahu sensasinya punya selingkuhan.” Ucap Friedrich sambil mencium tangan Julia.
“Apa artinya aku hanya akan menjadi yang kedua?” tanya Julia.
“Tidak juga. Kau mendapat tempat di hatiku sama seperti Claudia.” Balas Friedrich.
“Maksudmu?” tanya Julia kebingungan.
“Secara resmi, Claudia adalah pasanganku dan mengisi setengah hatiku. Tapi kau mengisi setengahnya lagi.” Jawab Friedrich.
Oh, sepertinya aku harus segera kembali ke kamar. Kalau lama-lama, Claudia bisa curiga.” Julia melepaskan diri dari pelukan Friedrich dan keluar dari kamar.

Claudia masih menangis di bawah bantal saat tiba-tiba pintu kamar terbuka.

“Claudia, maaf ya lama! Lho, kamu kenapa nangis?” tanya Julia kebingungan melihat mata Claudia yang bengkak.
“Oh, aku abis nonton film sedih di internet sampai aku nangis.” Kata Claudia sambil mengusap air mata dari wajahnya.
Oh gitu! Maaf ya lama, tadi aku harus cari dulu power bank aku, soalnya tadi keselip di mana gitu!” balas Julia sambil merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan.
“Oh ya, Julia. Aku ingin menanyakan sesuatu yang agak private. Kamu gak keberatan, ‘kan?” Claudia bertanya dengan kata-kata yang nyaris sama dengan yang diucapkan Julia sebelumnya.
“Boleh. Tanya apa?” tanya Julia.
“Kalau kamu punya sahabat kayak aku, terus dia selingkuh sama cowok kamu, siapa yang akan kamu pilih?” tanya Claudia. Julia menjadi terkejut sekali.
“Mak...maksud kamu?” tanya Julia agak gugup.
“Kamu akan pilih mempertahankan persahabatanmu atau menyelamatkan hubunganmu dengan cowok itu?” tanya Claudia. Julia sempat kebingungan harus menjawab apa namun ia berhasil mengendalikan diri.
“Aku akan memilih persahabatan. Untuk apa mempertahankan hubungan dengan cowok yang gak setia seperti itu.” Jawab Julia mantap.
“Sekalipun kamu sangat mencintainya?” lanjut Claudia.
“Iya! Sebuah hubungan membutuhkan kepercayaan dan komitmen kuat agar bertahan. Jika sebelum menikah saja, ia sudah terpikat dengan yang lain, apalagi jika nanti kita sudah menjadi suami-istri.” Jawab lagi Julia.
"Kamu memang tipe cewek yang cemburuan." Balas Claudia sedikit tersenyum. Julia pun mengambil handphone-nya dan membuka kontak chat dengan seseorang.

Sementara Julia sedang asyik mengobrol lewat chat, Claudia beranjak dari kamar dan turun menuju lobi hotel. Claudia keluar ke halaman depan hotel dan mengambil sebungkus rokok dari kantong celananya. Ia mengambil sebatang rokok dan pemantik api dari dalam bungkus itu. Dinyalakannya rokok tersebut di mulutnya lalu ia mulai mengisapnya. Ia berpura-pura telah berhenti merokok di depan Julia agar Julia mengikutinya berhenti merokok. Namun sebenarnya, ia masih sering merokok saat berada di rumah. Sambil mengisap sebatang benda putih dengan ujung yang membara, Claudia memikirkan kelanjutan dari hubungannya dengan Friedrich yang sudah 4 tahun berjalan.

“Friedrich, tega banget sih kamu. Bulan depan ‘kan kita udah resmi jadi suami-istri. Apa kurangnya aku sampai kamu kepincut Julia? Apa aku kurang cakep? Kurang perhatian? Kurang sayang sama kamu?” Claudia mengisap rokoknya sambil mulai mencucurkan air matanya lagi.
"Ternyata benar kata Julia. Kamu memang cowok brengsek dan aku memang bakal menderita kalau bersama kamu. Tapi ternyata kamu membuatku menderita dengan berselingkuh dengan Julia." Air mata Claudia mengalir semakin deras. Mendadak langit menjadi gelap dan hujan pun turun, mengiringi kesedihannya yang amat pedih. Rintik-rintik hujan membuat air matanya seolah-olah ikut berjatuhan dengan air hujan ke tanah. Claudia berlutut dan semakin larut dalam kesedihan. Rokok yang dihisapnya mulai padam dan lembek karena terkena air hujan.

"Claudia! Ya ampun, kamu ngapain hujan-hujanan di luar? Nanti kamu sakit loh! Ayo masuk!" Friedrich yang memayungi dirinya dari hujan mengajak Claudia masuk ke dalam. Claudia yang sebenarnya enggan mengikuti saja.

"Kamu kenapa sih, sayang? Kok hujan-hujanan di luar? Nanti kamu sakit, aku yang khawatir." Friedrich bertanya sambil mengeringkan Claudia dengan handuk.
"Aku cuma lagi pengen aja main hujan-hujanan. Terakhir aku main hujan-hujanan, itu ketika aku masih berusia 7 tahun." Jawab Claudia.
"Kamu ini aneh-aneh aja sayang!  Aku 'kan gak mau kamu sakit. Kalau kamu sakit, hatiku juga sakit.” Balas Friedrich.
“Dasar gombal. Sudah selingkuh di belakangku, sekarang pura-pura perhatian sama aku!" Di dalam hati, Claudia merasa kesal dengan Friedrich. Namun, ia tetap berpura-pura seakan-akan tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Ketiganya terus saja saling menyimpan rahasia sampai hari terakhir liburan mereka.

Liburan mereka berakhir. Saat menunggu kereta yang akan memberangkatkan mereka ke Jakarta...

"Oh ya, kalian bawa oleh-oleh apa ke Jakarta?" tanya Claudia.
"Mau tahu aja atau mau tahu banget?" balas Julia dengan usilnya.
"Mau tahu banget dong!" balas Claudia sambil menyentil pipi Julia.
"Aww! Sakit tahu!" kata Julia yang kesakitan sambil mengambil sesuatu dari kantong celana jinsnya.
"Iya maaf! 'Kan cuma becanda!" Balas Claudia.
"Aku sih cuma beli perhiasan perak untuk ibu di rumah." tanggap Friedrich.
"Kalau aku beli bakpia 3 kotak buat dimakan di kos-kosan. Kamu sendiri beli apa?" Seru Julia.
"Kalau aku beli kaus sekodi. Lihat nih!" Kata Claudia sambil menunjukkan sekodi baju yang ada di dalam tasnya.
"Ya ampun. Pantesan tas kamu penuh. Perasaan pas berangkat, tasnya kurus." Balas Friedrich.
"Iya, habis bajunya bagus-bagus. Jadi pingin beli banyak-banyak. Habis 500 ribu deh!" Lanjut Claudia.
"Kita kebagian gak?" tanya Julia.
"Pastinya dong! Nih" Kata Claudia sambil mengambil dua buah kaus berwarna putih bertuliskan "KAMI GAK PACARAN, CUMA FRIENDZONE" dan memberikannya kepada Julia dan Friedrich masing-masing satu.

Jumat, 18 Desember 2015

Love My Hater - Part 11 : Perpisahan

“Aku ingin minta maaf pada...” Claudia melanjutkan. Julia dan Friedrich menanti jawabannya dengan harap-harap cemas.
“Julia.” Begitu namanya disebut oleh Claudia, Julia langsung terpukul.
“Maaf, Julia! Aku tak bisa meninggalkan Friedrich. Kami sudah saling mencintai dan tak terpisahkan. Dengan penuh pertimbangan, aku memilih Friedrich.” Claudia menyelesaikan pilihannya. Julia sangat kecewa karena Claudia mengakhiri 14 tahun persahabatan mereka demi seorang lelaki yang baru dikenalnya sejak SMP.
“Baiklah, Claudia. Gue hormati keputusanmu tapi ingatlah. Lo bakal menyesali pilihan lo ini. Mulai sekarang, jangan pernah kontak atau nyapa gue lagi. Persahabatan kita putus sampai lo mengubah keputusan lo!" Ujar Julia sambil menjatuhkan rokok yang masih menyala ke lantai semen dan menginjaknya dengan sepatu kanannya.  Ia berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi.
"Julia!" Claudia memanggil namun Julia tak meggubrisnya.
"Sudahlah, sayang! Julia hanya sedang dalam emosi buruk saja! Kalau hatinya sudah tenang dan pikirannya sudah jernih, ia akan kembali seperti biasa." Friedrich berusaha menenangkan Claudia yang mulai menitikkan air mata dan menyandarkan kepalanya ke dada Friedrich.
"Sayang, apa keputusanku ini benar?" Claudia mulai meragukan keputusan yang baru saja ia buat.
"Aku gak bisa bilang keputusanmu benar atau enggak. Tapi yang jelas, kita jangan mendekati Julia dulu. Dia sekarang gak ingin melihat apalagi berbicara dengan kita. Kita biarkan dulu dia tenang." Friedrich menguatkan Claudia.

Keesokan harinya, Claudia dan Friedrich pergi ke kampus, seperti biasa. Ketika mereka masuk ke dalam kelas, mereka tidak melihat Julia. Mereka khawatir bila terjadi sesuatu yang buruk terhadap Julia.

"Julia ke mana ya? Apa perasaannya masih terluka dengan kejadian kemarin dan ia pergi ke suatu tempat." Claudia bertanya-tanya.
"Entahlah." Friedrich tidak tahu.
"Julia baik-baik saja kok." Tiba-tiba Sofie menyela pembicaraan mereka.
"Maksud kamu?!" Tanya Claudia kebingungan.
"Julia hanya sedang terpukul mentalnya saja dan butuh ketenangan. Jadi, ia selama seminggu ke depan akan cuti kuliah. Tapi, aku gak tahu apa yang buat dia terpukul." Terang Sofie.

Claudia mulai diliputi perasaan bersalah. Ia takut Julia yang kecewa dengan keputusan yang ia buat kemarin akan melakukan sesuatu yang berbahaya.

Sementara itu, sambil duduk di lantai kamar kos dan menghisap rokok, Julia sedang memikirkan sesuatu. Terbayang saat ibunya memperkenalkan pacar barunya, 9 tahun lalu.

Julia, Dieser Mann ist mein Freund, Joseph. Wir werden heiraten. Joseph, Sie ist meine Tochter, Julia.”[1] kata ibu dalam bahasa Jerman.
"Julia, bleib bei uns!"[2] Pria itu mengajak Julia.
Nein! Ich will das nicht! Mutter, bitte nicht!"[3] Julia memohon.
"Es tut mir leid, Julia! Ich konnte nicht mehr mit Ihrem Vater zu sein."[4] Ibu berkata demikian dan ia pergi keluar dari rumah bersama sang pacar baru.

Hati Julia terasa sangat sakit dan air matanya selalu menetes tiap membayangkan peristiwa itu. Ia tak habis pikir bagaimana ibunya tega meninggalkan ia, kakaknya, dan ayahnya dan pergi bersama pria lain. Bayangannya kemudian melangkah 7 tahun ke depan saat ia sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Ia berhasil menjadi siswa lulusan terbaik.

"Aku berhasil! Aku berhasil lulus dengan nilai terbaik. Ayah pasti senang!" Julia melangkahkan kakinya kegirangan membayangkan bagaimana ayahnya akan membanggakan sang putri. Sampai ada sebuah panggilan masuk.
"Hallo, ich bin Julia."[5] Julia membuka percakapan. Terdengar suara tangisan dari dalam ponsel.
“Halo, kak Ingo! Ada apa, kak?! Kenapa menangis?” Julia menjadi panik.
“Ayah meninggal, Julia!” dua kata pertama dari tiga kata yang diucapakan sang kakak cukup membuat Julia terdiam sejenak kemudian sekuat tenaga berlari menuju ke rumah sakit sambil menahan air matanya agar tidak menetes dulu. Sesampainya di rumah sakit, ia langsung menuju kamar sang ayah. Ketika ia membuka pintu, tampak Ingo, sang kakak, duduk di samping ayah yang sudah terbaring kaku di tempat tidurnya. Julia sudah tak dapat lagi menahan air matanya.

"Vater! Vater! Vater!!"[6] Julia mengguncang tubuh sang ayah namun tak ada respon apapun dari sang raga. Julia mulai menangisi kepergian ayahnya.

Kembali ke alam nyata, air mata Julia kali ini benar-benar tumpah. Entah sudah yang keberapa kali ingatan akan peristiwa itu membuatnya menangis. Ia berusaha agar ingatan tersebut tak lagi menghantuinya namun ia selalu saja datang.

"Friedrich, aku ingin tahu kenapa orang tua kamu bercerai." Claudia tiba-tiba bertanya. Friedrich terkejut.
"Kenapa kamu tiba-tiba nanya seperti itu?" respon Friedrich yang terkejut.
"Aku cuma ingin tahu alasan Julia membencimu dari sudut pandangmu." Claudia menjelaskan.
"Ayahku itu seorang rentenir. Dia memberi pinjaman dengan bunga cukup tinggi. Ibu Julia suatu hari meminjam uang kepada ayahku untuk menutupi biaya pengobatan ayah Julia. Ayahku pada awalnya menolak karena tahu keluarga Julia tidak akan bisa membayarnya. Namun, ia memberikan pilihan. Jika ibu Julia mau menikah dengan ayahku, ia akan menanggung biaya pengobatannya secara cuma-cuma. Tapi, keduanya harus berpisah dengan pasangan masing-masing. Jadi, ayahku bercerai dari ibuku dan ibu Julia bercerai dari ayah Julia." Friedrich menjelaskan.
"Jadi, ibu Julia menikahi ayahmu bukan karena cinta?" Claudia mulai kebingungan.
"Iya. Sebenarnya ibu Julia hanya terpaksa menikahi ayahku agar bisa membiayai pengobatan suaminya. Tetapi, ia tak tahu kalau ayah Julia lebih membutuhkan kehadirannya daripada pengobatan." Friedrich melanjutkan.
"Lantas, bagaimana kehidupan pernikahan mereka sekarang?" Claudia kembali bertanya.
"Kehidupan mereka berantakan. Ayahku meninggal tahun lalu karena kecelakaan lalu lintas. Ibu Julia, meski mendapat warisan dari ayahku lumayan besar, hidupnya suram sejak ia tahu ayah Julia sudah meninggal. Ia setiap hari hanya menyesali pilihan yang sudah dibuatnya dulu." Friedrich menerangkan.
“Ngomong-ngomong, siapa yang memberitahumu? Kau ‘kan baru tahu kalau ayahmu menikah lagi dengan ibunya Julia setelah Julia mengakui semuanya.” Tanya Claudia.
“Kemarin ketika aku tahu semuanya, aku langsung menanyakannya kepada ibuku. Ibuku ternyata menyimpan rapat-rapat soal pernikahan kedua ayahku selama ini dariku. Aku memaksanya untuk menceritakan dan ia akhirnya mau.” Terang Friedrich.
"Sayang, apa kamu tahu di mana ibu Julia tinggal? Aku punya sebuah ide." Claudia tiba-tiba merencanakan sesuatu.
"Iya. Memangnya apa idemu?" Tanya Friedrich.


[1] Julia, pria ini adalah pacarku. Kami akan menikah. Joseph, dia anakku, Julia.
[2] Julia, tinggallah bersama kami!
[3] Tidak! Aku tidak mau! Ibu, kumohon jangan!
[4] Maafkan aku, Julia! Aku tak bisa lagi bersama ayahmu.
[5] Halo, ini Julia.
[6] Ayah! Ayah! Ayah!!

Senin, 16 November 2015

Love My Hater - Part 10 : Pilih Aku atau Dia?

“Friedrich, siapa itu?” Claudia ketakutan.
“Ssst! Jangan berisik!” Friedrich berbisik meminta Claudia tenang. Friedrich mengendap-endap mendekati semak. Dengan hati-hati, Friedrich mengulurkan tangannya. Ia menyibak semak-semak itu, ternyata hanya anak kecil yang sedang bersembunyi karena sedang bermain petak umpet.
“Fuh, aku kira si...”
“Gue gak bakal sembunyi di tempat kayak begitu!” Suara seorang wanita membuat Claudia dan Friedrich terkejut. Mereka melihat siapa yang berbicara. Itu Julia!
“Julia?” Friedrich keheranan.
“Gue sempat berpikir kalau kalian benar-benar akan berpisah. Tapi ternyata, kekuatan cinta kalian dan kecerdikan Friedrich membuat rencana gue berantakan.” Ucap Julia sambil mengambil sebatang rokok dari bungkusan rokok.
“Jadi, apa yang Friedrich bilang tadi benar?” tanya Claudia kebingungan.
“Karena sudah terlanjur...hampir semuanya benar, kecuali satu hal.” Julia melanjutkan sambil menyalakan rokok tersebut dan mulai menghisapnya.
“Apa maksudmu?” Friedrich ikut kebingungan.
“Yang gue lakukan bukan merusak hubungan lo berdua, tapi menyelamatkan lo dari si brengsek ini.” Ucap Julia dengan nada menaik sambil menunjuk Friedrich.
“Apa maksud lo? Jangan mengada-ada!” Friedrich menghardik.
“Dulu, gue pernah bilang! Kalau lo bakal menderita jika berhubungan bersama Friedrich.” Lanjut Julia.
“Tapi, selama ini gue merasa nyaman berhubungan dengan Friedrich.” Claudia membantah.
“Ya, mungkin sekarang enggak. Tapi coba bayangkan, sekarang saja, gue bisa merayu dia sampai dia berhubugan dengan gue di belakang lo, apalagi nanti kalau lo udah nikah!” Ucap Julia.
“Lo pikir gue benar-benar berhubungan sama lo? Enggak! Gue cuma ngikutin permainan lo untuk menyelamatkan hubungan gue dengan Claudia. Gue gak pernah suka sama lo. Gue hanya mencintai Claudia seorang saja. Dulu, gue kehilangan Sofie karena gue terlalu posesif dan gengsi dengan cewek. Sekarang, gue gak mau lagi kehilangan Claudia.” Friedrich menjawab.
“Oh, gitu ya! Gue nggak tau lo yang terlalu cerdik atau gue yang terlalu ceroboh sehingga lo bisa membuat rencana tandingan. Seharusnya, gue lebih berhati-hati. Tapi sudahlah. Semua pasti juga akan terbuka pada waktunya. Dan lo mau tahu kenapa gue membenci Friedrich dan gak ingin dia berhubungan dengan lo?” Julia melempar sebuah pertanyaan. Claudia menganggukkan kepalanya.
“Friedrich, 9 tahun lalu orang tua lo bercerai. Benar, ‘kan?” Julia memulai pemaparannya.
“Iya.” Jawab Friedrich.
“Kebetulan, orang tua gue juga bercerai 9 tahun lalu. Lo mau tahu kenapa? Ibu gue selingkuh dengan lelaki lain. Dia menceraikan ayah gue karena ayah gue terkena kanker paru-paru dan ibu gue gak mau mengurusnya. Dia lebih memilih bersenang-senang dengan lelaki itu. Setelah ibu pergi, kakak gue harus bekerja keras untuk membiayai sekolah gue dan pengobatan ayah gue. Beruntung kami masih punya sedikit tabungan dan ada donatur anonim yang memberi bantuan sehingga kami masih bisa memberinya pengobatan yang diperlukan. Tapi sayang, karena kanker itu sudah stadium lanjut, ayah gue akhirnya meninggal 2 tahun lalu. Tepat di hari kelulusan gue dari SMA. Gue yang harusnya senang berlinang air mata hari itu. Ayah yang sangat gue sayangi pergi untuk selamanya di hari yang mana seharusnya ia dapat membanggakan putrinya yang berhasil lulus SMA. Gue terpukul, hancur, sedih. Gue semakin benci dengan ibu gue. Kalau dia mau tetap bersama kami, mungkin ayah gue gak akan meninggal dengan penderitaan. Asal lo tahu, dia lebih menderita psikis daripada fisik. Dia menderita karena di saat ia sedang lemah dan berjuang melawan penyakit, istri yang sangat dicintainya lebih memilih lelaki lain dan meninggalkannya. Gue berharap lo gak jadi istri yang seperti itu, Claudia, siapa pun yang akan jadi suami lo nanti.” Julia kembali melanjutkan.
“Iya, Julia! Gue janji. Tapi apa hubungannya dengan kebencianmu dengan Friedrich?” tanya Claudia.
“Gue sangat benci dengan ibu gue, dan gue lebih benci lagi sama lelaki yang sudah membuat ibu gue meninggalkan gue, kakak gue, dan ayah gue. Lo mau tahu siapa lelaki itu?” Julia melempar balik pertanyaan. Claudia dan Friedrich menganggukkan kepala.
“Namanya Joseph Krause.” Ucap Julia pelan.
“Ayah? Jadi maksudmu...” Friedrich menjadi terkejut karena nama ayahnya disebut oleh Julia.
“Iya, Friedrich! Ayah lo yang udah membuat ibu gue sampai meninggalkan gue dan keluarga gue. Lo mesti tau, hati gue sampe sekarang masih sakit. Gue masih enggak terima kalau keluarga gue hancur karena satu orang lelaki. Gue berkorban banyak. Gue harus melupakan cita-cita gue menjadi tentara karena gue gak punya cukup uang untuk mendaftar dan akhirnya menerima beasiswa ke kampus ini. Semua ini gara-gara bokap lo dan lo harus bertanggung jawab!" Julia menyalahkan Friedrich atas kesengsaraannya yang disebabkan oleh Joseph, ayah Friedrich.
"Dari mana lo tau kalau lelaki yang merebut nyokap lo itu bokap gue?" tanya Friedrich.
"Ibu gue dengan tanpa rasa bersalah memperkenalkan pacar barunya sebagai Joseph Krause di depan gue, kakak gue, dan ayah gue yang mulai lemah. Gue ingat betul-betul nama dan wajah itu. Ketika gue membuka buku tahunan SMP kita waktu kelas 1 SMA, gue mengecek nama lo. Begitu gue melihat kalau nama bokap lo adalah Joseph Krause. Ditambah dengan wajah lo yang mirip banget dan selalu ngingetin gue dengan lelaki itu, gue yakin kalau dia adalah bokap lo. Hari ini, hal itu telah terbukti." Jelas Julia.
"Julia, yang salah itu ayahnya Friedrich, bukan Friedrich. Friedrich juga terpukul saat ayahnya meninggalkan keluarganya. Ia juga sebenarnya membenci ibumu, sama seperti kamu membenci ayahnya. Tapi, ia berusaha untuk menerimanya dan menjalani hidup bersama ibu dan adiknya." Claudia berusaha menengahi konflik antara keduanya dan menjernihkan pandangan Julia.
"Gue gak peduli meskipun ia sama sekali gak terlibat dalam penderitaan gue. Intinya, gue sangat membencinya dan gue gak akan pernah rela kalau lo berdua sampai menikah. Sekarang lo harus milih, Claudia!" Julia berseru.
"Milih?! Milih apa?" Claudia kebingungan.
"Milih gue atau dia!" seru Julia.
"Maksudnya?!" Claudia masih kebingungan.
"Kalau kamu milih gue, batalkan pernikahan kalian dan putus. Kalau kamu milih dia, maaf aja, persahabatan kita berakhir di sini dan jangan pernah kontak gue lagi!" Julia menjelaskan.

Claudia kini dihadapkan pada dilema. Ia tetap ingin menjaga hubungannya dengan keduanya, tetapi kali ini ia harus memilih.

"Ya Tuhan, bantulah aku. Siapa yang harus aku pilih? Julia, sahabatku atau Friedrich, tunanganku?" Claudia galau.

Claudia menutup matanya sejenak dan memikirkan matang-matang pengambilan keputusannya. Dengan penuh keyakinan, Claudia pun memutuskan...

Bus Terakhir

Kakiku melangkah agak sedikit sempoyongan. Arlojiku menunjukkan waktu pukul 22.15. Huh! Sudah cukup larut malam. Pasti Claudie akan marah-m...